Nama:Djenar Maesa AyuNama Panggilan:NaiLahir:Jakarta, 10 Januari 1970
Karya Buku:- Mereka Bilang, Saya Monyet!, kumpulan cerpen (2002)
- Jangan Main-main Dengan Kelaminmu, kumpulan cerpen (2003)
- Cerita Pendek tentang Cerita yang Pendek, kumpulan cerpen (2006)
- Naila, novel (2005)
- Ranjang, novel (segera terbit 2008)
Karya Film:- Mereka Bilang, Saya Monyet! (2007)
Televisi:- Fenomena (TranTv, 2006)
- Silat Lidah (Antv, 2007)
Karya Buku:- Mereka Bilang, Saya Monyet!, kumpulan cerpen (2002)
- Jangan Main-main Dengan Kelaminmu, kumpulan cerpen (2003)
- Cerita Pendek tentang Cerita yang Pendek, kumpulan cerpen (2006)
- Naila, novel (2005)
- Ranjang, novel (segera terbit 2008)
Karya Film:- Mereka Bilang, Saya Monyet! (2007)
Televisi:- Fenomena (TranTv, 2006)
- Silat Lidah (Antv, 2007)
Djenar Maesa Ayu
Melawan Ketabuan dengan Pena
Dari segelintir perempuan penulis Indonesia saat ini, nama Djenar Maesa Ayu terasa sangat menonjol dari yang lainnya. Pada mulanya ia menulis cerita pendek (cerpen), lalu beringsut ke novel. Namanya semakin melangit ketika ia melebarkan sayap ke dunia televisi dan layar lebar. Dan, saat ini, ia bahkan telah menjadi sutradara lewat film yang diangkatnya dari karya cerpennya sendiri, “Mereka Bilang, Saya Monyet!”
Djenar lahir dari keluarga seni. Kedua orangtuanya sendiri adalah tokoh perfilman Indonesia. Ayahnya adalah Sjumanjaya seorang sutradara terkemuka dan ibunya, Toeti Kirana aktris era 70-an yang cukup punya nama.
“Dari kecil saya terbiasa melihat kesibukan kedua orang tua yang enggak jauh-jauh dari dunia seni. Baca buku sastra, nonton film dari banyak negara…” kata perempuan kelahiran Jakarta, 20 Januari 1970 itu
Dulunya Djenar merasa tidak terlalu pandai menulis. Lalu ia memulai kiprahnya di dunia kepenulisan dengan menemui sejumlah sastrawan besar Indonesia yang dijadikannya sebagai “guru” menulisnya. Nama seperti Seno Gumira Ajidarma, Budi Darma, dan Sutardji Coulzum Bachri kerap disebut-sebut dalam ucapan terimakasihnya di setiap karyanya terbit.
“Mereka yang memperkenalkan saya pada keberanian dalam menulis. ‘belajar menulis, ya menulislah!’ kata Sutardji. Lalu saya nulis apa saja. Keberanian memang sudah ada dalam diri saya. Selanjutnya mengalir saat proses pembelajaran. Dari sini saja saya sudah tak pantang dengan tabu. Enggak bisa nulis, tapi ngotot belajar nulis…”katanya sambil tertawa lepas.
Cerpen pertamanya Lintah yang dimuat harian Kompas (2002) menjadi debut yang mengesankan. Keberaniannya memaparkan banyak fakta bertema feminisme dianggap sebagai kelanjutan dari kebangkitan perempuan pengarang era 2000-an. Setelah itu belasan cerpennya bermunculan di sejumlah media masa. Rata-rata Djenar menulis tentang perempuan dan dunianya. Berkat cerpen-cerpennya, Djenar kerap menuai pujian sekaligus kritik pedas.
“Yang saya ingin tulis, saya tulis. Kalau ternyata banyak orang yang mengatakan karya saya itu sebagai karya sastra, atau ada yang mengatakan porno itu saya anggap sebagai komplimen. Tugas saya hanya menulis…Saya tak pantang dengan tema yang dianggap orang tabu,” kata ibu dua anak ini spontan.
Djenar adalah feminis tanpa jargon. Sejumlah cerpennya dianggap banyak kritikus sastra sebagai karya yang mengelaborasi tema seksualitas dan dunia perempuan. Tak jarang, setiap karyanya terbit, selalu saya disertai kontroversi. Djenar sendiri tak sungkan memasukan sejumlah tema-tema krusial seksualitas berikut idiom dan frasanya. Hubungan tak lazim dalam dunia seks, dan sejumlah tema pemberontakan perempuan yang selama ini masih jarang dijamah penulis seangakatannya sekalipun. “Kadang kita sering berlebihan memandang seks. Padahal pembaca dewasa membutuhkan diskusi tentang itu, buang dulu istilah tabu…” katanya.
Djenar termasuk perempuan penulis yang produktif. Dalam kurun waktu tujuh tahun, empat judul buku sudah tergarap, dan tiga di antaranya itu masuk sebagai shortlist anugerah sastra tahunan Khatulistiwa Literary Award tahun 2002, 2004 dan 2006. Dan setiap buku karyanya selalu termasuk deretan daftar buku bestseller.
Sejak tanggal 3 Januari 2008 yang baru saja berlalu, Djenar menambah satu lagi karyanya. Film Mereka Bilang, Saya Monyet! Yang disutradarainya itu tak lain adalah gubahan atas karya cerpennya sendiri. “Selalu saja ada niat untuk menuangkan sisi-sisi keberanian feminis yang berbeda. Dalam film ini saya tuangkan kekayaan sastra dalam bentuk visual…”
Djenar lahir dari keluarga seni. Kedua orangtuanya sendiri adalah tokoh perfilman Indonesia. Ayahnya adalah Sjumanjaya seorang sutradara terkemuka dan ibunya, Toeti Kirana aktris era 70-an yang cukup punya nama.
“Dari kecil saya terbiasa melihat kesibukan kedua orang tua yang enggak jauh-jauh dari dunia seni. Baca buku sastra, nonton film dari banyak negara…” kata perempuan kelahiran Jakarta, 20 Januari 1970 itu
Dulunya Djenar merasa tidak terlalu pandai menulis. Lalu ia memulai kiprahnya di dunia kepenulisan dengan menemui sejumlah sastrawan besar Indonesia yang dijadikannya sebagai “guru” menulisnya. Nama seperti Seno Gumira Ajidarma, Budi Darma, dan Sutardji Coulzum Bachri kerap disebut-sebut dalam ucapan terimakasihnya di setiap karyanya terbit.
“Mereka yang memperkenalkan saya pada keberanian dalam menulis. ‘belajar menulis, ya menulislah!’ kata Sutardji. Lalu saya nulis apa saja. Keberanian memang sudah ada dalam diri saya. Selanjutnya mengalir saat proses pembelajaran. Dari sini saja saya sudah tak pantang dengan tabu. Enggak bisa nulis, tapi ngotot belajar nulis…”katanya sambil tertawa lepas.
Cerpen pertamanya Lintah yang dimuat harian Kompas (2002) menjadi debut yang mengesankan. Keberaniannya memaparkan banyak fakta bertema feminisme dianggap sebagai kelanjutan dari kebangkitan perempuan pengarang era 2000-an. Setelah itu belasan cerpennya bermunculan di sejumlah media masa. Rata-rata Djenar menulis tentang perempuan dan dunianya. Berkat cerpen-cerpennya, Djenar kerap menuai pujian sekaligus kritik pedas.
“Yang saya ingin tulis, saya tulis. Kalau ternyata banyak orang yang mengatakan karya saya itu sebagai karya sastra, atau ada yang mengatakan porno itu saya anggap sebagai komplimen. Tugas saya hanya menulis…Saya tak pantang dengan tema yang dianggap orang tabu,” kata ibu dua anak ini spontan.
Djenar adalah feminis tanpa jargon. Sejumlah cerpennya dianggap banyak kritikus sastra sebagai karya yang mengelaborasi tema seksualitas dan dunia perempuan. Tak jarang, setiap karyanya terbit, selalu saya disertai kontroversi. Djenar sendiri tak sungkan memasukan sejumlah tema-tema krusial seksualitas berikut idiom dan frasanya. Hubungan tak lazim dalam dunia seks, dan sejumlah tema pemberontakan perempuan yang selama ini masih jarang dijamah penulis seangakatannya sekalipun. “Kadang kita sering berlebihan memandang seks. Padahal pembaca dewasa membutuhkan diskusi tentang itu, buang dulu istilah tabu…” katanya.
Djenar termasuk perempuan penulis yang produktif. Dalam kurun waktu tujuh tahun, empat judul buku sudah tergarap, dan tiga di antaranya itu masuk sebagai shortlist anugerah sastra tahunan Khatulistiwa Literary Award tahun 2002, 2004 dan 2006. Dan setiap buku karyanya selalu termasuk deretan daftar buku bestseller.
Sejak tanggal 3 Januari 2008 yang baru saja berlalu, Djenar menambah satu lagi karyanya. Film Mereka Bilang, Saya Monyet! Yang disutradarainya itu tak lain adalah gubahan atas karya cerpennya sendiri. “Selalu saja ada niat untuk menuangkan sisi-sisi keberanian feminis yang berbeda. Dalam film ini saya tuangkan kekayaan sastra dalam bentuk visual…”
Djenar Maesa Ayu
Kepompong Kenyamanan
Kendati karyanya penuh pendobrakan, dalam keseharian ia ádalah orang yang enggan dengan perubahan
Djenar Maesa Ayu (36) dalam keseharian adalah seorang ibu muda, beranak dua, berdaster batik ria saat di rumah, memasak, membersihkan rumah berlantai tiga dan mengurus anak-anaknya. Sendirian. Tidak ada pembantu, meski tinggal di rumah gedongan pinggiran Jakarta Barat. “Saat seperti inilah saya merasa “kaya”. Tanpa pembantu, saya bisa memaksimalkan peran saya sebagai ibu,” kata Djenar sambil menatap mesra wajah anak bungsunya, Bidari Maharani (8) yang terlelap di atas pangkuannya. Sulungnya, Banyu Bening (17), baru saja pamit untuk nonton basket dengan pacarnya, berbekal nasi dengan ayam goreng yang disiapkan Djenar sebelumnya. Inilah gambar suasana di rumah Djenar ketika dewi bertandang ke rumahnya sehari itu.
Di luar sana, eforia belum saja usai. Film perdananya “Mereka Bilang, Saya Monyet!” meraih prestasi sebagai film terbaik versi Majalah Tempo, juga mengukuhkannya sebagai tokoh seni 2008. Film yang diangkat dari judul buku kumpulan cerpen pertamanya ini sekaligus membuka kiprahnya di berbagai festival film internasional seperti Berlin Asian Hot Shots Film Festival dan Singapore Film Festival. Keberhasilan ini seolah melanjutkan berbagai prestasi yang diperoleh dari kumpulan cerpen dan novelnya yang lain, seperti “Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), “Nayla”, “Cerita Pendek tentang Cerita Pendek”, yang berhasil meraih penghargaan dari Khatulistiwa Literary Award. Karya-karyanya banyak dibicarakan karena keberaniannya dalam menyuarakan problem seksualitas dalam diri manusia.
Dua belas tahun lalu, sebelum ia memiliki hasrat untuk menulis, ia tak lebih dari seorang ibu rumah tangga biasa.
Djenar lahir dari buah cinta seniman besar Sjumandjaya dan aktris Tutie Kirana. Ia anak tunggal dari perkawinan kedua ayahnya dan perkawinan kedua sang bunda, yang hanya sempat mengenyam setahun masa pernikahan. Ia lantas tinggal bersama ibunya, meski tidak pernah jauh pula dari sang ayah yang sering mengajaknya ke lokasi syuting. Kepandaiannya berakting -ia berhasil membawa penghargaan sebagai nominator artis pendatang baru terbaik sekaligus artis terfavorit versi Indonesia Movie Award 2007 dan nominator pemeran pembantu terbaik di Festival Film Bandung 2008 — barangkali turun dari bakat ibunya. Sementara itu, gaya bicaranya yang acapkali meledak-ledak, seperti idenya, seolah mengalir dari ayahnya.
Apapun yang terjadi dengan masa kecilnya, ia mengaku beruntung. Kedua orang tuanya sangat terbuka dan membebaskan ia untuk kritis, berani bicara pelbagai hal, termasuk seks. Bilamana dalam karya-karyanya ia mengusung persoalan seks, ini terjadi karena dalam dirinya seks bukan sesuatu yang “mewah”. Naluri seksual baginya adalah sesuatu yang amat alamiah dan perlu. Ditilik secara medis pun, diakui bahwa seks dibutuhkan oleh metabolisme tubuh. Baginya, pemahaman seks bebas bukanlah sekadar seks di luar nikah.
“Seks bebas adalah seks yang tidak bertanggung-jawab, baik kepada diri sendiri maupun terhadap pasangan. Segala sesuatu ada konsekuensinya. Harga yang harus kita bayar karena melakukan seks dengan tidak bertanggung jawab amatlah mahal. Selain kehamilan di luar keinginan, konsekuensi yang lain adalah penyakit kelamin. Boleh saja kita berganti-ganti pasangan asal kita menjaga benar kesehatan reproduksi,” jelas Djenar – penulis yang muncul di saat dunia sastra sudah mulai jenuh dan menawarkan tema-tema penuh pendobrakan-yang siang itu tampil sangat kalem. Ia tampak menikmati dunianya sebagai single mother dan ibu rumah tangga sejati. „Karya saya kan cuma fiksi. Orang acapkali menyamakan antara fakta diri saya dengan karya saya,” di tangga rumah yang menghadap udara lepas itu, ia menghirup rokoknya kencang-kencang.
“Karya saya berasal dari kehidupan sekitar dan apa yang saya pikirkan. Pelecehan seksual misalnya, sebagai ibu dari dua anak perempuan, saya benar-benar concern dengan masalah itu. Tiap hari ada saja berita yang saya dengar dan lihat baik dari media cetak maupun tivi. Walaupun saya tidak ngalamin, tapi saya bisa merasakan, Walaupun tidak riil, tapi rasa sakitnya terasa riil. Itulah sebabnya saya menganggapnya sebagai problem saya juga.” ujarnya panjang. Ia juga keberatan jika karya-karyanya ditenggarai sebagai biografi dirinya. “Saya menyebutnya biografi psikologis. Bukan biografi,”sanggahnya, sambil kembali menenggak bir langsung dari mulut botol. Meski demikian, kalimat-kalimat yang meluncur dari dirinya terasa teduh saat itu. Tak ada ledakan. Tak ada emosi yang meluap-luap. Ia terasa seperti seorang ibu yang memberi tahu anaknya dengan rasa sayang, mengusap-usap, hingga sang anak tertidur dalam buaiannya.
“Sembilan puluh sembilan koma sembilan orang salah persepsi tentang saya,”katanya. Seperti dikatakannya, orang menganggapnya liar, gaul, padahal sesungguhnya ia menyukai ketenangan. “I am aloner, nggak suka hang out, pendiam, pelamun. Dari kecil saya orang yang sangat serius. Saya juga orang yang senang di rumah,”ujar Djenar yang sejak kecil sangat introvert dan penyendiri. Ia tak pernah mengungkapkan apa yang menjadi gejolak pikirannya kepada orang lain. Bahkan para sahabat dekatnya sejak SMP yang hingga kini masih setia padanya pun tak pernah sekalipun menjadi tumpuan melimpahkan berbagai masalahnya. “Biasanya jika masalah sudah selesai dan hati saya sudah tenang, barulah saya cerita kalau dulu sebenarnya sedang punya masalah besar. Dan seperti biasa, mereka akan marah-marah,” ia tertawa riang.
Di ruang keluarganya, ia memasang lukisan-lukisan potret dirinya, hadiah dari para sahabat, yang menunjukkan betapa bervariasinya mereka memandang dirinya. Meski lukisan itu terinspirasi olehnya, namun tak satupun yang mirip dengan diri dan tubuhnya, akunya. Beberapa diantaranya berupa lukisan perempuan telanjang. “Itulah yang bikin saya bingung. Kenapa mereka melukis demikian ya? Wajah dan tubuh saya jadi kelihatan lebih bagus!”, ujar Djenar yang mengira bahwa tubuhnya sekarang lebih langsing mungkin berasal dari hasil kerja kerasnya mengepel seluruh lantai rumahnya tiap hari. “Saya memang suka beres-beres. Jadi bukan keharusan. Saya alergi dengan keharusan,”ungkapnya. Di luar itu, ada juga lukisan pemberian sahabatnya, Made Wianta dan Sitok Srengenge, berupa lukisan abstrak dengan catatan sebuah puisi. “Beruntung punya banyak teman-teman seniman.” imbuhnya.
Justru di lantai dua, Anda akan menemukan bagaimana Djenar melukis tentang dirinya sendiri. Lukisan yang dibingkai dalam frame kayu sederhana itu berbentuk abstrak, perpaduan warna hitam-putih, yang ia masih tak percaya diri untuk memamerkan atau menjualnya kepada orang lain.
Lantai tiga di rumah itu adalah ruang favoritnya untuk bekerja. Di ruang satu lantai penuh itu hanya tersedia meja tulis, rak buku dan mini bar. Hampir seluruh dinding dilapisi cermin untuk putri sulungnya berlatih tari dengan teman-temannya. Sementara di teras depan studio itu, terdapat ayunan dan bale-bale, untuk menemani putri bungsunya bermain atau melukis. “Di sinilah kami biasa berkumpul, masak barbeque, atau bekerja dan berkarya. Sementara Nyuyu (panggilan sayang bagi Banyu) belajar menari dan Yiyi (panggilan sayang bagi Bidari) melukis di atas kanvas, saya menyelesaikan novel terbaru: Ranjang. Sudah hampir dua tahun namun belum juga selesai. Setelah menjadi orang tua tunggal, memang produktivitas saya menurun.”, imbuhnya.
Ia juga tak suka pada perubahan, kendati karyanya membicarakannya. Itu sebabnya ia tinggal tak jauh dari mantan suaminya setelah berpisah, dan membiarkan sang anak bertemu ayahnya kapan saja. Ia sangat sulit untuk meninggalkan apa yang disebutnya comfort zone, zona kenyamanan dirinya: anak-anak, rumah, kesukaannya berkarya. Tak jelas apakah bir yang selalu berada di tas khusus yang dibawa kemanapun dia pergi, dan juga rokoknya -yang sejak berumur empat belas tahun tak pernah ganti- menjadi salah satu zona kenyamanan atau salah satu pemicu untuk menemaninya berkarya.
“Orang mengecap diri saya, tanpa pernah membaca apa yang saya tuliskan. Saya merasa diskriminasi terhadap perempuan semakin nyata setelah dikenal sebagai penulis. Buktinya, banyak orang yang membicarakan sesuatu yang justru di luar karya itu sendiri. Segala moral sebagai perempuan dibawa-bawa. Padahal saya menulis isyu tentang seksualitas, bukan aktivitas seksual yang dengan sengaja ingin merangsang pembaca. Kalau ada yang terangsang karena pelecehan seksual terhadap anak umur sembilan tahun, saya rasa dialah yang orientasi seksual dan moralnya yang patut dipertanyakan,” curhat Djenar. Pandangan tentang seks ditabukan dan tidak pantas untuk dikomunikasikan juga kerap meresahkannya. “Dengan tidak memberi informasi yang benar kepada anak-anak dengan alasan tabu, bagi saya adalah pelanggaran HAM. Lebih baik jika anak-anak bertanya dan berkomunikasi dengan orang tuanya dibanding medapat pengetahuan dari luar yang belum tentu benar. Kasihan mereka.”
Ia sangat percaya bahwa sesuatu yang besar tidak melulu dari sebuah tindakan yang besar. “Saya orang yang individualis. Karenanya saya tidak berbakat atau senang terlibat dalam organisasi. Jika saya peduli lingkungan dan mahkluk hidup, saya lebih senang memulainya dari diri sendiri. Misalnya, saya penyayang binatang. Ya aplikasinya jangan makan binatang. Karenanya sekarang saya menjadi vegetarian.” Makna spiritualitas pun diterjemahkan dengan sederhana. “Yang selalu saya upayakan adalah sebisa mungkin tidak merugikan orang lain dan terus belajar agar dapat menjadi Ibu yang lebih baik bagi anak-anak saya.” Namun demikian, ia pun mengaku tidak ingin berumah tangga lagi.
Lantas bagaimana ia memaknai cinta? “Sulit untuk mendefinisikan cinta. Ia seperti angin, tak terlihat namun terasa.” Kelihatannya Djenar benar-benar mengandalkan instingnya itu dalam hal percintaan. Ia mengaku selalu membuka diri terhadap pelbagai “peluang” sampai ia betul-betul merasa pas dengan seseorang. Dan biasanya, jika sudah merasa pas, ia akan sangat sulit untuk berpaling. Ia akan amat enggan beringsut dari kepompong kenyamanannya.
Seperti saat ini. Dalam kepompong kenyamanan itu, iamembuat dua karya baru. Menyelesaikan novel “Ranjang” dan film “SAIA”, film keduanya yang berbeda dengan film sebelumnya. “Jika film sebelumnya mengacu kepada reaksi psikologis, yang ini lebih mengacu kepada reaksi tubuh terhadap kekerasan.” katanya. Film ini hanya diperankan oleh tiga orang pemain, lokasinya hanya dua, dan tidak akan ada dialog. Karena itu ia sedang belajar bagaimana berbicara dengan bahasa gambar secara maksimal. “Dan saya rasa, saya butuh waktu. Mungkin dua tahun seperti film saya yang pertama,” tambahnya sambil tertawa, membayangkan masa depan yang terbentang di matanya… sebelum lemudian menjadi kupu-kupu cantik yang mewarnai dunia sastra dan film di
Tema : sosial
Tokoh : aku (sudut pandang orang pertama)
Penokohan :
- aku : sabar , dewasa ,ambisius
latar :
- tempat : depan kamar mandi
- waktu : pagi hari
- suasana : gaduh,menyedihkan
alur : maju
sudut pandang : orang pertama sebagai pemeran utama
gaya bahasa :
- personifikasi
- metafora
- litotes
amanat : “ sebelum kita membenarkan diri orang lain lebih baik kita melihat diri kita sendiri “
“setiap individu memiliki kekurangan dan kita harus menyadari bahwa kita juga memiliki kekurangan. ”
0 komentar:
Posting Komentar